Kehidupan memang memberikan banyak pilihan. Ada
yang sulit, sedang, dan mudah. Sekian banyak manusia yang pernah singgah
di dunia ini, selalu terkotak pada tiga pilihan itu.
Ada yang mengambil pilihan sulit, apa pun
risikonya. Mereka rela menyiksa diri demi kebahagiaan yang
diidam-idamkan. Bentuknya pun bermacam-macam. Ada yang tidak mau
menikah. Ada yang mengharamkan makanan dari yang hidup seperti binatang.
Dan lain-lain. Begitu pun dengan sedang dan mudah. Pilihan mudah boleh
dibilang yang paling populer, paling disukai. Tak peduli dengan urusan
orang lain, lingkungan yang serba susah; pokoknya bisa hidup senang.
Mereka bisa tega merampas hak orang lain, menghalalkan segala cara, demi
kesenangan hidup.
Islam memberikan pilihan hidup sendiri. Tidak kaku
dengan tiga pilihan tadi: sulit, sedang, dan mudah. Kehidupan dunia
dalam Islam adalah sebuah persinggahan perjalanan seorang anak manusia.
Dalam persinggahan itu, ada berbagai ujian. Persis seperti perantau yang
tiba dari perjalanan jauh. Dan persinggahan memberikan aneka makanan
dan minuman. Kalau si perantau melampiaskan lapar dan dahaganya di
persinggahan itu, ia bisa lupa. Bahwa, akhir perjalanannya bukan di
situ. Tapi tempat lain yang harus dengan susah payah ia capai.
Itulah yang pernah disampaikan seorang sahabat
Rasul, Ibnu Umar r.a. Ia menceritakan pengalamannya ketika bersama
Rasulullah saw. dalam sebuah perjalanan. Ibnu Umar mengatakan,
"Rasulullah saw. memegang bahuku sambil bersabda, ‘Di dunia ini, jadilah
kau seperti orang asing atau perantau. Jika berada di waktu pagi,
jangan mengharap akan bertemu sore. Dan, jika berada di waktu sore
jangan mengharap akan sampai pagi. Pergunakan kesempatan masa sehat
untuk masa sakit, dan masa hidup untuk bekal mati." (Bukhari)
Sampai di situ, terkesan seperti Islam memilih
kehidupan yang sulit. Padahal, tidak sepenuhnya seperti itu. Ketika
hidup menjadi sebuah persinggahan, yang perlu diperhatikan adalah unsur
keseimbangan. Karena singgah pun mencari keseimbangan baru. Allah swt.
berfirman, "Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca
(keseimbangan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi
neraca itu." (QS. 55: 7-9)
Dari keseimbangan itu, hidup menjadi proporsional:
tidak melulu ke yang sulit, sedang, dan mudah. Tapi mengalir menurut
takaran yang telah Allah tetapkan dalam fitrah manusia. Hal itulah yang
pernah diluruskan Rasulullah saw. kepada seorang sahabatnya, Abdullah
bin Amr bin Ash. Saat itu, Abdullah ingin mengamalkan Islam dengan
sangat baik: berpuasa selamanya, tidak menikah, dan mengabaikan tidur.
Rasulullah saw. mengatakan, "Demi Allah, aku ini orang yang paling takut
kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya. Tetapi, aku berpuasa dan
berbuka. Aku shalat dan tidur. Dan, aku mengawini wanita-wanita.
Barangsiapa mengabaikan sunnahku maka dia bukan dari golonganku."
(Mutafaq ‘alaih)
Cuma masalahnya, kecenderungan-kecenderungan untuk
hidup santai sangat kuat. Tanpa memberikan peluang untuk bersantai pun,
umumnya orang selalu tertarik untuk bermudah-mudah. Awalnya hanya
selingan, tapi berlanjut menjadi kebiasaan. Ada contoh yang mudah.
Seorang mukmin sangat wajar ketika mengisi malam-malamnya dengan
qiyamul-lail atau shalat malam. Di saat kebanyakan orang tidur, ia
justru menangkap suasana hening itu untuk berdekat-dekat dengan Allah
swt. Ia curahkan segala beban kehidupan yang begitu berat kepada sebuah
kekuatan yang Maha Segala-galanya.
Namun, karena sesuatu hal, ia butuh selingan.
Salah satunya, dengan menonton sepak bola. Sesuatu yang mulanya selingan
ini akan bermakna lain ketika bisa mengorbankan banyak hal. Bayangkan,
jika seorang mukmin menghabiskan waktu tengah malamnya hanya untuk
menyaksikan pertandingan sepak bola. Penyelenggaranya bukan mukmin, dan
sebagian besar pemainnya pun orang kafir. Dan itu tidak satu malam. Tapi
bisa berlanjut dan menjadi rutin.
Tanpa sadar, ada sesuatu yang bergeser. Dan
sesuatu itu merupakan hal besar. Bahwa, kehidupan ini bukan untuk
main-main dan santai. Melainkan ada misi besar. Itulah ibadah. "Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah-Ku." (QS. 51:56)
Menjaga titik keseimbangan memang bukan perkara
gampang. Orang bisa terpental dari titik ekstrim satu ke titik ekstrim
lainnya. Dari berlebih-lebihan dalam keseriusan hidup kepada kehidupan
yang sangat-sangat cair. Sedemikian cairnya hingga tak punya nilai
sedikit pun. Baik nilai ukhrawi, maupun duniawi. Tidak ada pahala
sebagai buah ibadah. Tidakjuga penghasilan sebagai hasil kerja. Itulah
yang disebut laghwi, sebuah pekerjaan yang tidak punya nilai apa pun. Buat dunia, apalagi akhirat.
Ada dampak buat mereka yang terbudaya dengan laghwi.
Dampak itu mengalir dalam jiwa. Pelan tapi pasti. Itulah kegelisahan
dan kesedihan. Suatu hal yang justru sebelumnya ingin dikubur dalam
bentuk santai dan bermudah-mudahan. Rasulullah saw. mengatakan, "Seorang
yang kurang amalnya maka Allah akan menimpanya dengan kegelisahan dan
kesedihan." (HR. Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar